Kehidupan sempurna seorang penulis di kota New York mulai terurai kala sebuah film dokumenter kriminal nyata memaksanya untuk menghadapi sejarah SMA-nya yang mengerikan.
Adalah TifAni Fanelli (Mila Kunis), wanita modern yang bekerja sebagai editor sebuah majalah ternama di New York. Sekilas, ia adalah standar perempuan masa kini. Mandiri, karir bagus, berpenghasilan cukup, kehidupan percintaan mulus.
Namun, seperti tiap manusia yang punya pengalaman pahit, masa lalu Ani juga demikian. Dan bukan hanya layak dilupakan, menjadi penyintas peristiwa penembakan siswa Sekolah Bentley adalah pengalaman traumatis.
Lalu Ani diminta mereka ulang kejadian tersebut lewat film dokumenter. Tak mudah, makanya Ani selalu menolak permintaan sang sutradara. Sebab, kasus penembakan hanyalah "sampul" dari tragedi yang sesungguhnya terjadi.
Disclaimer: This review contains major spoiler. Jika tak berkenan, silahkan baca sampai disini saja.
REVIEW
Membaca sinopsis dari Netflix yang saya cantumkan di paragraf pertama, mengikuti narasi Ani dan potongan kilas balik peristiwa masa lalu yang disajikan dari awal durasi, saya dibuat curiga bahwa Ani adalah sang pelaku.
Pisau, darah, orang-orang pemegang senjata, sikap Ani yang masih serba abu-abu.
Pihak produksi sukses membuat saya paranoid dan berprasangka pada Ani. Hingga saat kebenarannya ditampakkan, strategi tersebut lantas menempatkan saya dalam posisi bersalah. Saya telah lancang berasumsi macam-macam padahal tak tahu semenyakitkan apa yang telah Ani lalui.
Saya lancang melihat Ani dari sisi luar saja. Ani yang terlalu ambisius, keras kepala, dingin, bermuka dua. Saya menghakimi sifat lahiriah saja tanpa mau mengedepankan empati. Saya menilainya sebagai pribadi menyebalkan, tapi lalai mendahulukan pemahaman bahwa tiap manusia punya jalan terjalnya masing-masing.
Sebegitu traumatis pengalaman masa lalu tersebut, hingga tak sedetikpun Ani diam-diam tak membenci dirinya. Dia terus menerus ingin membuktikan diri, selalu menjelma sebagai orang lain, mengatakan apa yang ingin orang lain dengar, padahal kata hati tak sejalan.
Kau tahu bedanya kemarahanku dan kemarahan kalian (pelaku) padaku? Aku juga marah seperti kalian. Tapi kemarahanku seperti karbon monoksida. Tidak berbau, berasa, berwarna, dan benar-benar beracun, tapi hanya bagiku. Aku tak melampiaskan amarahku kepada orang lain selain diriku.
Hidup sebagai korban perkosaan, dengan stigma-stigma usang patriarki dan perempuan merupakan kaum subordinat, sehingga dipaksa diam saja karena diperkosa adalah aib. Saat faktanya disajikan dengan begitu presisi, saya sampai meneteskan air mata dan ingin seketika memeluk Ani.
Bayangkan, karena dibungkam dan difitnah pasca kejadian, Ani merahasiakan peristiwa tersebut hingga dewasa. Dia marah pada dirinya sendirian, dia tak memaafkan seorang Ani sendirian, dia mengalami dinamika trauma itu sendirian. Dia tak leluasa bercerita karena terlanjur memercayai itu noda yang akan merusak hidupnya, padahal dia hanyalah KORBAN.
Padahal korban hanyalah korban. Tak pantas disudutkan, diremehkan, dipersalahkan.
Dan detail potongan-potongan masa lalu yang membuat saya berprasangka, lantas bersimpati, menurut saya adalah penyumbang terbesar hidupnya cerita Luckiest Girl Alive ini, selain akting mumpuni dari Mila Kunis.
Di penghujung adegan, ketika Ani kemudian jujur dan mengakui traumanya, saya turut lega. Pun saat dia dengan legowo nan tegas (tak seperti sebelumnya) meng-counter ucapan fans pelaku yang menyudutkan, saya ikut kegirangan.
Apalagi sewaktu dia memberanikan diri menuliskan semua yang ia alami dan mengeksposnya ke publik. Siapa sangka tunangan yang selama ini tampak pengertian ternyata juga bisa melontarkan kata-kata menyakitkan?
Saya sangat bersyukur ia akhirnya mampu mengutamakan kebahagiaannya sendiri.
Sebab, TifAni serta para korban pelecehan dan kekerasan seksual lainnya layak mendapatkan kembali kepercayaan diri dan menjalani hidup seutuhnya.
Bravo!
Zey's Review: 4.7/5
Where to Watch: Netflix
Komentar
Posting Komentar
Komentar anda akan ditampilkan setelah ditinjau